Sunday, October 25, 2009

Menggapai Khairu Mataa’id Dunya


merawat rumahnya seindah surga…
hiaskan qona’ah di taman hatinya…
sejuk kalbunya sebening kaca…
tundukkan pandang, takutkan Rabb-Nya…



Wahai saudariku…..siapakah yang tidak tersipu-sipu mendengar bait-bait syair di atas,
seorang muslimah akan tertunduk malu jika kata-kata itu diucapkan kepadanya.
Itulah gambaran wanita sholihah, gelar tertinggi yang diraih seorang wanita.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim disebutkan “Dunia adalah perhiasan
dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita sholihah (mar’atus sholihah)”.

Wanita adalah makhluk ciptaan Allah. Secantik apapun dia, selembut apapun dia, semahir apapun dia, seperti apapun dia, ia tetap seorang hamba. Hanya seorang hamba yang Allah jadikan sebagai pendamping bagi manusia pertama yang diciptakan. Beban tugaspun dilimpahkan, konsekuensi yang timbul tidaklah sedikit dan tak mudah.

Ada janji dengan segala puji ditebar Sang Pencipta. Lewat perantara wahyu dan lisan shodiq utusan-Nya. Satu harap para wanita menjadi muslimah dan mentaati apa yang Allah dan Rasul-Nya titahkan. “Mar’atus Sholihah” mahligai a’laa lilmuslimah. Perhiasan terindah di atas dunia. Salah satu pilar Kejayaan Dienul Islam.

LANGKAH-LANGKAH MENJADI MAR’ATUS SHOLIHAH

Wahai saudariku…..maukah engkau kuberitahu, bagaimanakah kita mencapai derajat mar’atus sholihah itu? Kita dapat mengetahuinya dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.

Langkah Awal : Menjadi Amatullah (Hamba Allah)

Tugas hamba terhadap Rabbnya adalah menyembah-Nya tanpa tandingan lain.

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”

(Al-Quran Al-Karim Surah Adz-Dzariyat [51] : ayat ke 56)

Dengan bekal ketaqwaan yang lahir dari pergolakan ruh dan jalan panjang tafakkur (memikirkan), tadabbur (memperhatikan), dan nadhor (melihat) dalam tugas ini, seorang hamba (insya Allah) mampu menciptakan manusia yang hidup bertanggung jawab dengan sesungguhnya penjadian diri “al-muttaqi”. Berani menentang pandangan, sifat dan ansir yang menyimpang untuk menyalakan kekuatan baru. Melepaskan diri dari ikatan yang dapat mengakibatkan jiwa lapuk dan lemah.

Sayyid Qutb rahimahullah berkata, “Inilah bekal dan persiapan perjalanan…bekal ketaqwaan yang selalu menggugah hati dan membuatnya selalu terjaga, waspada, hati-hati, serta selalu dalam konsentrasi penuh… bekal cahaya yang menerawang liku-liku perjalanan sepanjang mata memandang. Orang bertaqwa tidak akan tertipu oleh bayangan semu yang menghalangi pandangannya yang jelas dan benar… itulah bekal penghapus segala kesalahan, bekal yang menjanjikan kedamaian dan ketentraman, bekal yang membawa harapan atas karunia Allah, di saat bekal-bekal lain sudah sirna dan semua amal tak lagi berguna…” (Tarbiyah Ruhiyah, DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan).

Seorang hamba tidak patut menuruti hawa nafsunya sendiri, mematuhi manusia sebagai alternatif dari Tuhan, taklid buta terhadap tradisi, praktik, kepercayaan dan gagasan, ritus dan upacara masyarakat serta menganggapnya lebih tinggi daripada ajaran Tuhan. Karena hal tersebut bila dilaksanakan hanya akan mengantarkan kepada kesesatan yang nyata fid dunya wal akhiroh. Na’udzu billahi min dzaalik.

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya

dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

(Al-Quran Al-Karim Surah Al-Qashash [28] : ayat 50)

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan mengahapuskan kesalahan-kesalahan dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”

(Al-Quran Al-Karim Surah Al-Anfaal [8] : ayat 29)

Langkah Kedua : Menjadi Zaujah Sholihah (Istri Sholihah)

Dalam buku “Kaifa Takuuniina Zaujatan Shoolihatan”

diringkaskan cirri khas seorang istri yang baik ialah :

1. Sholihah, melaksanakan perintah dan hak Rabb-Nya.

2. Muthii’ah qoonitah, taat pada suami selama tidak mengundang murka Ilahi..

3. Muhaafadzoh, menjaga dirinya dan harta suami bila ia pergi.

“maka wanita yang sholihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri

ketika suaminya tidak ada..” (Al-Quran Al-Karim Surah Al-Nisa’ [4] : ayat 34)

Menyenangkan bila dipandang, menjauhkan suami dari rasa marah dan tak akan menolak bila ia “ingin”.

Dalam tahap inilah seorang amatullah menghadapi batasan baru. Ia tidak lagi bias menjalani hidup keseharian dengan sesuka hatinya, ia tak lagi dapat shaum nafilah (puasa sunnah) tanpa izin, ia tak bisa pergi tanpa persetujuan, ia harus tampak bahagia walau hatinya gelisah, ia harus tetap prima walau tubuhnya lelah, ia harus dapat menyesuaikan diri dalam situasi dan kondisi yang rasanya mustahil sekalipun, ketaatannya diuji hingga untuk hal yang tidak dia sukai (selama tidak melanggar Al-Quran dan As-Sunnah)

Dari lini ini realita yang ada kadang (bahkan sering) tak sejalan dengan idealisme yang dimiliki. Ilmu yang didapatkan selama ini menuntut amal nyata. Sikap individualis hanya akan menghancurkan citranya dan cita-citanya sebagai zaujah sholihah. Ujian? Ya! Mengharap ridha Allah dan suami adalah tugas seorang istri.

Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

“Bagi seorang wanita, sholat fardhunya yang lima, puasa wajibnya sebulan, ia

menjaga kehormatannya, mentaati suaminya, maka ucapkanlah bagi mereka :

“masuklah kamu ke syurga lewat pintu-pintunya yang kamu suka”

(Ibnu Hibban, Shohih al-Jami’).

Langkah Ketiga : Menjadi Ummu Sholihah (Ibu Sholihah)

Tanggung jawab besar selanjutnya hadir seiring hadirnya buah hati tersayang. Tanggung jawab yang tak mungkin dilimpahkan. Menjadi madrosatul ula (sekolah pertama), guru dari segala guru.

Setelah terlahir, seorang anak mempunyai hak untuk diaqiqahi, dipotong rambutnya, diberi nama yang baik, disusui selama 2 tahun, dikhitan. Setelah itu (orang tua khususnya ibu) harus memberikan kasih sayang yang diperlukan anak, membiasakan anak berdisiplin sejak dini, memberi teladan yang baik sejak awal.

Sampai di sini tugas belum selesai. Mengenalkan kalimat syahadat, mengajarkan Al-Qur’an, hukum halal dan haram, teladan Rasulullah dan para sahabat, hak dan kewajban orang tua, juga menjadi tugas utama. (disarikan dari Buku “Al Wajiiz Fii Tarbiyyah”, Yusuf Muhammad Al-Hasan)

Pendek kata ibu, dan ibulah yang menjadi tumpu harap seorang

anak amanah Allah.

Ketika membaca teori mendidik anak rasanya sangat mudah, penerapannya? Tak semudah yang tertulis. Setiap anak mebawa watak yang berbeda, masalah yang berbeda, kebiasaan yang berbeda, maka mengatasinya pun berbeda-beda. Di sinilah membutuhkan lebih dari sekedar ilmu. Wal hasil ilmu tanpa amal bagai pohon tidak berbuah. Keikhlasan, kesunggguhan, kesabaran, dan engharap ridho Allah sebagai penolong adalah pegangan mengarungi ujian lanjut ini.

Tidak ada kata mudah tugas ini. Repot, dan tidak ada lagi ruang senyap (kecuali sedang tidur). Hari-hari yang berlalu kemudian, adalah sebuah tanda tanya bagaimana kita harus menata waktu, untuk Allah, suami, anak-anak, demi mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Langkah keempat : Menjadi “Udhwu Al-Jama’ah Al-Qowiyah” (anggota jama’ah yang kuat)

Jama’ah secara literer diartikan dengan “sejumlah besar manusia atau sekelompok manusia yang berhimpun untuk mencapai tujuan yang sama. (Al-Mu’jamu wasith 1/136)

Maka maksud dari “menjadi anggota jama’ah yang kuat” adalah kita ikut pada sekelompok masyarakat yang memiliki kesamaan visi dan misi yang paling (mendekati) sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Cara ini sebagai media interaksi kita terhadap lingkungan dan kepedulian kita terhadap sesama.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa bangun tidur sedang dia tidak memikirkan nasib kaum muslimin, maka

dia bukanlah dari golongan muslim.”

Maka, “sampaikanlah apa yang didapatkan dariku (Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa Sallam) walau satu ayat.” (Al-Hadits)

Kita hidup bermasyarakat, dari sanalah timbul tuntutan untuk mengenal lingkungan. beragam sifat, sikap, cakap, dan faham membuat hidup ini rame rasanya. Bagi seorang muslimah ladang da’wah terbentang di sana. Jangan sampai merugi karena sesungguhnya manusia benar-benar merugi kecuali :

Mereka yang beriman

Mereka yang beramal shalih

Mereka yang nasihat-menasihati dengan sabar dan pada yang haq

Maka tak mungkin kita hidup sendiri.

Akhir Menjadi Mar’ah Sholihah (Wanita Sholihah)

Ammatullah, zaujah sholihah, ummu sholihah, menjadi bagian dari sebuah komunitas, adalah empat tahap uji sebelum menggapai mar’ah sholihah. Ketika keempat langkah di atas telah terlampaui hasilnya tetap tercetak beda antara satu dengan yang lainnya. Paling tidak ada beberapa kriteria dapat diamati. Sebagaiman firman Allah dalam Surah al-Faathir (Surah ke 35) ayat 32.

“…..di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri

dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang

lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah

karunia yang amat besar.”

Wallahu a’lam bishshowab wa ‘afwu minkum



Maaraji’ :

Al-Wajiiz Fit Tarbiyah, Yusuf Muhammad Al-Hasan

Ath thoriq ilaa jamaa’atil muslimiin, Hussain bin Muhammad bin ali Jabir MA

Kaifa Takuuniina Zaujatan Shoolihatan, Ad-Dar Ibnul Mubarok.

Lima Tahap Mar’ah Sholihah, kajian bersama Ustadz Yusuf Irianto

Tarbiyah Ruhiyah, Dr.Abdullah Nashih ‘Ulwan.

sumber : Foswat's weblog
Selengkapnya...

Saturday, October 24, 2009

Menyalakan Lentera Bersama Abu Yusuf


PRASYARAT

Pemahaman terhadap rasam tentang Abu Yusuf ini insyaallah akan lebih baik jika para pembaca tercinta terlebih dahulu membaca rasam kami yang berjudul “Menyalakan Lilin Bersama Raja’ ibn Haiwah”.

HadaanaLlaahu wa iyyakum ajma’iin.

KERAJAAN: DARI ‘UMAYYAH KE ‘ABBASIYAH

Awal-awal, agar pembaca tercinta tak musykil lagi dengan penyebutan ‘kerajaan’ untuk daulah setelah masa Khulafaur Rasyidiin, mari sejenak mengingat kembali hadits Safinah, Maula Rasulillah. Beliau ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Khilafah sepeninggalku tigapuluh tahun lamanya.” Ini lafazh yang diriwayatkan Ibnu Hibban (15/35/6657). Dalam riwayat Ahmad (5/221/21937), At Tirmidzi (4/503/2226), dan Abu Ya’la ada tambahan lafazh “Setelah itu adalah kerajaan.”

Dalam riwayat Abu Dawud (4646, 4647), dicantumkan keterangan Safinah yang berkata, “Mari kita hitung; Abu Bakr memegang urusan selama 2 tahun, ‘Umar selama 10 tahun, ‘Utsman selama 12 tahun, dan ‘Ali selama 6 tahun. Maka genaplah 30 tahun.” Adapun Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah (9/153, 169, dan 210) menegaskan periode Khilafah berakhir ketika Al Hasan ibn ‘Ali menyatukan kaum muslimin dalam kepemimpinan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan pada bulan Rabi’ul Awwal 41 H, benar-benar tepat 30 tahun setelah wafatnya Rasulullah pada Rabi’ul Awwal tahun 11 H.

Adapun faidah tak menyebut masa itu sebagai khilafah di antaranya adalah, agar segala kerusakan dan kezhaliman yang terjadi di masa mereka tak dinisbatkan pada institusi mulia yang kita rindukan itu. Sungguh kita tak ridha pada lisan-lisan yang menodai kesucian khilafah dengan fakta-fakta sejarah yang –sesuai hadits di atas- dilakukan oleh para raja dan terjadi pada masa kerajaan ‘Umayyah dan ‘Abbasiyah. Bukan masa khilafah.

Kita sudah sedikit mengulas tentang kerajaan ‘Umayyah di bawah judul judul ‘Menyalakan Lilin Bersama Raja’ ibn Haiwah’. Dan semoga itu cukup.

-Senja Kerajaan ‘Umayyah

Yang bisa kita sebut sebagai penguasa mutlak terakhir Bani ‘Umayyah di Damaskus adalah Al Walid ibn Yazid ibn ‘Abdil Malik. Imam As Suyuthi dalam Tarikh-nya (220-221) menulis tentangnya, “Dia fasiq, suka meminum khamr, menikahi Ummu Walad ayahnya, dan menodai syari’at Allah. Pernah ia berangkat haji hanya untuk satu tujuan; meminum khamr di atas Ka’bah.” Imam Al Mawardi dalam Adaabud Dunyaa wad Diin menyatakan, “Satu hari, dia membuka mushhaf secara acak untuk meramal nasib baik baginya. Atas kehendak Allah, yang terbaca olehnya adalah ayat ini;

“..Dan binasalah semua orang yang berlaku sewenang-wenang lagi keras kepala!” (Ibrahim 15)

Al Walid langsung merobek-robek mushhaf itu dan berteriak, “Apakah engkau mengancam semua yang sewenang-wenang dan keras kepala hah?! Nih, ini aku adah orang yang sewenang-wenang lagi keras kepala! Di hari penghimpunan nanti katakanlah kepada Rabbmu, ‘Wahai Ilahi, Al Walid telah merobek-robekku!”

Beberapa hari kemudian, sepupunya, Yazid ibn Al Walid ibn ‘Abdil Malik mengobarkan pemberontakan. Kepala Al Walid dipenggal, dipanggang di atas tombak, lalu disalibkan di atas pagar istananya. Demikian ditulis Ad Damiri dalam Hayat Al Hayawan Al Kubra (1/72), dan As Suyuthi dalam At Tarikh (222).

Bersamaan dengan itu, Abul ‘Abbas As Saffah telah memulai gerakannya secara terang-terangan dari Kufah. Adapun Yazid ibn Al Walid hanya berkuasa 6 bulan. Lalu saudaranya Ibrahim ibn Al Walid menggantikan selama 70 hari. Kemudian Bani ‘Umayyah dipimpin Marwan ibn Muhammad yang segera harus menghadapi pasukan ‘Abbasiyah di Zab Zab, dekat Mosul. Marwan kalah. Dia lari ke Mesir dan dibunuh di Abi Shair oleh Shalih ibn ‘Ali, yakni paman Abul ‘Abbas. Menjelang kematiannya dia berteriak, “Kerajaan kami -Bani ‘Umayyah- telah musnah!”

-Gerakan ‘Abbasiyah

Di bulan Rabi’uts Tsani 132 H, Abul ‘Abbas As Saffah berkhuthbah di Kufah setelah deklarasi gerakan dan pembai’atan dirinya. Setelah menyebut berbagai kezhaliman Bani ‘Umayyah, dia mengatakan, “Dan sungguh aku berharap kalian tidak akan didatangi kezhaliman pada saat kebaikan telah datang kepada kalian, tidak juga oleh kehancuran jika perbaikan telah mengunjungi kalian.”

Lalu berdirilah Dawud ibn ‘Ali, pamannya, yang menyatakan bahwa gerakannya tidak bertujuan menumpuk harta dan kekuasaan, melainkan untuk menumpas kezhaliman, membela keluarga sepupu mereka –keluarga ‘Ali ibn Abi Thalib- dan seluruh rakyat yang teraniaya. “Maka dengan ini kami berjanji”, katanya, “Demi kesetiaan kami kepada Allah dan RasulNya, demi kehormatan ‘Abbas, untuk memerintah sesuai Kitabullah dan berjalan sesuai teladan Rasulullah.” Riwayat kampanye Bani ‘Abbas ini diabadikan oleh Ath Thabari dalam Tarikh-nya (6/82-83), Ibn Al Atsir dalam Al Kamil fit Tarikh (4/325), dan Ibn Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah (10/41).

Karena kedudukannya sebagai ahli bait Nabi, kampanye ‘Abbasiyah begitu cepat dan luas mempengaruhi masyarakat. Apalagi disokong kemuakan ummat atas kekuasaan Bani ‘Umayyah yang kian hari makin zhalim, Baitul Maal yang tak berfungsi, peradilan yang kacau, dan situasi ekonomi yang timpang. Sungguhpun demikian, tak lama menunggu semua janji itu terbukti hanya kampanye dusta dan penipuan terhadap ummat. Abul A’la Al Maududi mengulas ini dalam Al Khilafah wal Mulk (227).

Lebih dari 50.000 kaum muslimin di kota Damaskus terbantai ketika pasukan Abul ‘Abbas menaklukkannya. Masjid Jami’ ‘Umayyah mereka jadikan kandang kuda. Mereka gali kuburan para penguasa Bani ‘Umayyah, mencambuki jasad dan tulang belulang itu di hadapan khalayak, lalu membakarnya dan menaburkan abunya. Mereka juga membunuhi semua anak-anak Bani ‘Umayyah, menggelar permadani di atas jasad-jasad bergeletaran itu, lalu duduk dan makan di atasnya. Di kota Basrah, Makkah, dan Madinah, jasad-jasad keluarga ‘Umayyah digantung pada lidahnya, dan tubuhnya dipereteli untuk makanan anjing di jalanan. Deskripsi ini bisa kita rujuk dalam karya Ibnu Katsir, Al Bidayah wan Nihayah (10/345), Ibn Al Atsir dalam Al Kamil (4/333-334), dan Ibn Khaldun, At Tarikh (3/132-133).

Dan, tak sebagaimana janji awal mereka, bahkan terhadap sepupu-sepupu merekapun –keturunan ‘Ali ibn Abi Thalib- penindasan yang mereka lakukan tak berbeda dari Bani ‘Umayyah. Sebagai gambaran, penguasa kedua ‘Abbasiyah, Abu Ja’far Al Manshur memerintahkan penangkapan Ibrahim ibn ‘Abdullah ibn Hasan ibn Hasan ibn ‘Ali, memenjarakannya, memperjalankannya dengan rantai dari Madinah ke Baghdad, dan menanamnya hidup-hidup di tembok kota. Mertua yang telah menyembunyikannya ditelanjangi, dicambuk 250 kali, dan dipenggal lalu kepalanya dikelilingkan di Khurasan. Kita bisa seksamai lengkap dan panjangnya kisah ini sebagaimana ditulis Ath Thabari dalam At Tarikh (6/161, 171-180), Ibn Al Atsir dalam Al Kamil (4/370-415), dan Ibnu Katsir dalam Al Bidayah (10/80-82).

Adapun sepupu Ibrahim, Muhammad ibn ‘Abdillah ibn Hasan ibn Hasan ibn ‘Ali dikenal sebagai An Nafsuz Zakiyah. Beliau dibunuh di Madinah, dipenggal kepalanya dan dikelilingkan di berbagai kota, jasadnya digantung di jalanan, lalu dilempar ke pekuburan Yahudi di gunung Sila’. Ibnu Katsir mengisahkannya dalam Al Bidayah (10/90).

Dengan tak ingin memperpanjang kesedihan kita menyeksamai perjalanan sejarah ummat sendiri, izinkan saya sudahi data-data menyesakkan hati ini.

Ya Allah, kami berlindung dari para penjanji yang jauh panggang dari api. Seorang Faqih dari Khurasan, Ibrahim ibn Maimun begitu percaya sehingga mendukung habis-habisan gerakan ‘Abbasiyah ini. Dia menjadi juru kampanye utama bagi panglima besar gerakan, Abu Muslim Al Khurasani. Ketika gerakan berhasil dan dia menuntut ditegakkannya syari’at Allah dan melarang mereka dari tindakan yang melanggar Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, pemerintah ‘Abbasiyah pun membunuhnya. Ibnu Katsir mengkhabarkan ini pada kita dalam Al Bidayah (10/68).

Perubahan politik dari ‘Umayyah ke ‘Abbasiyah tidaklah mengubah kecuali nama dinastinya. Ulasan menarik dibawakan oleh Abul A’la Al Maududi dalam Al Khilafah wal Mulk (230). Sesungguhnya, kata beliau, perpindahan kekuasaan dari ‘Umayyah ke ‘Abbasiyah hanyalah perpindahan sistem pemerintahan kerajaan dari gaya Romawi-Bizantium ke gaya Imperium Persia.

Kerajaan ‘Umayyah yang beribukota Damaskus berdiri di bekas wilayah terpenting Romawi dan begitu dekat dengan Konstantinopel. Sedang ‘Abbasiyah memulai kekuasaannya dari Khurasan dan mendirikan ibukota di Baghdad di mana ribuan tahun kebudayaan dan peradaban Persia berurat berakar. Nilai-nilai lokal tak pelak telah menshibghah mereka dalam sistem kenegaraan, gaya pemerintahan, dan bahkan gaya hidup mewah dan kezhaliman para penguasanya.

TIRANI TANPA HUKUM

Kerajaan Bani ‘Abbasiyah berdiri semata-mata di atas gerakan politik yang berhasil menebarkan pemikiran dan pengaruh di tengah masyarakat, lalu berdaya merebut kekuasaan. Maka begitu berkuasa; sebuah kekosongan menyeruak; kekosongan hukum dan ketatanegaraan. Mengapa?

Dalam praksisnya, sejak awal, gerakan ‘Abbasiyah menegakkan kekuasaannya dengan rasa takut. Jika Bani ‘Umayyah punya Al Hajjaj ibn Yusuf, ‘Abbasiyah punya Abu Muslim Al Khurasani. Ketakutan yang timbul atasnya bahkan tak hanya dirasakan rakyat, tapi juga oleh Abu Ja’far Al Manshur, penguasa kedua, pengganti As Saffah. Mulanya, Al Manshur berdekat-dekat dengan Abu Muslim untuk menggunakan kekuatannya menstabilkan kekuasaan baginya. Tak lama, begitu merasa kuat, Al Manshur mengeksekusi Abu Muslim. Ath Thabari mencatat hubungan unik mereka dalam At Tarikh (7/471-472).

Pribadi penguasa ‘Abbasiyah pun, terutama Al Manshur, disorot karena kengerian manusia terhadapnya. Adz Dzahabi saat menjelaskan biografi Al Manshur menyebutnya “Orang yang tak tertahankan kezhalimannya jika marah.” Sering keluar ungkapan dari para ‘ulama; “Maka aku melipat bajuku agar tidak terciprat darahnya” saat membersamai rekannya yang berani mengungkapkan kebenaran di hadapan Al Manshur.

Kata-kata ini misalnya dibatinkan Imam Malik ketika membersamai Ibnu Thawus, sebagaimana dicatat oleh Ibnu ‘Abdi Rabbih Al Andalusi dalam Al ‘Aqdul Farid (1/54-55). Juga oleh Abu Hanifah ketika membersamai Ibnu Abi Dzi’b, sebagaimana diriwayatkan Al Kurduri dalam Manaqib Imam Al A’zham (2/15-16).

Karena kejahatannya, maka orang-orang shalih, para ‘ulama yang memahami sunnah dan keadilan sejak hari pertama sudah menghindarkan diri dari Bani ‘Abbasiyah. Mereka menolak terlibat dalam segala tata kenegaraannya karena mereka tahu bahwa jika mereka bergabung, mereka tak bisa sedikitpun membawa perbaikan di bawah ancaman pedang. Kita bisa melihat itu dalam karya Al Khathib Al Baghdadi, Tarikh Baghdad (13/320), juga Al Makki dalam Al Manaqib (2/170).

Sebagai akibatnya, Imam Abu Hanifah dicambuki hingga berlumuran darah, dipenjarakan, diganggu nafkahnya, diasingkan ke rumah khusus hingga meninggalnya. Beliau wafat wajar menurut suatu riwayat, dan diracun menurut riwayat lain. Lengkapnya bisa kita rujuk Al Makki dalam Al Manaqib (2/173-174, 182), Ibnu Khallikan dalam Wafayatul A’yan (5/46), dan Al Yafi’i dalam Miratul Jinan (310).

Adapun Imam Malik, beliau didera dan ditarik lengannya sedemikian rupa hingga patah. Ath Thabari mengisahkan ini dalam At Tarikh (6/190), Ibnu Khallikan dalam Al Wafayaat (3/285), Ibnu Katsir dalam Al Bidayah (10/84), dan Ibnu Khaldun dalam At Tarikh (3/191). Jika kita kini melihat para pengikut madzhab Maliki tidak bersedekap saat shalat, waLlaahu a’alm. Mungkin karena sesudah pematahan tangan itu Imam Malik tak mampu lagi bersedekap dalam shalat, lalu para muridnya mengikuti beliau.

Di tahun 158 H, Al Manshur memerintahkan Wali Makkah memenjarakan Sufyan Ats Tsauri dan ‘Ubbad ibn Katsir. Lalu diapun berangkat berhaji. Orang-orang khawatir bahwa mereka berdua akan dibunuh ketika Al Manshur hadir di Makkah. Sebab, seringkali Al Manshur meminta dihadirkan seseorang untuk dibunuh di hadapannya sebagaimana diriwayatkan dari Mubarak ibn Fadhalah. Tetapi atas kehendak Allah, Al Manshur wafat pada tahun haji itu sehingga kedua ‘ulama besar itu selamat. As Suyuthi mencatat peristiwa ini dalam At Tarikh (229-232).

Keadaan memprihatinkan ini adalah cermin ketiadaan kedaulatan hukum. Dalam taraf lebih rendah, sebagaimana dicatat Al Khathib dalam Tarikh Baghdad (10/309), juga Thasy Kubra Zadeh dalam Miftah As Sa’adah (2/119), seorang hakim di masa ini hampir pasti kehilangan jabatan jika tak berpihak pada kepentingan istana.

Hal lain adalah tampilnya orang-orang Persia, Majusi dan zindiq yang mengisi posisi-posisi penting dalam kerajaan ‘Abbasiyah. Seiring dengan menyingkirnya para ‘ulama dari kekuasaan,mereka mengisi kerajaan ‘machstaat’ ‘Abbasiyah dengan ketatanegaraan Persia yang jahiliah. Mereka banyak menebarkan faham zindiq dan gaya hidup Persia yang rusak, melakukan penindasan dengan fitnah-fitnah terhadap para ‘ulama, menyuap para penguasa itu dengan syair pujian, dan menyelewengkan keuangan negara.

Di masa Al Manshur, orang-orang Persia ini diangkat menjadi mayoritas para panglima dan wali negeri. Imam Al Mas’udi mencatatnya dalam Murujudz Dzahab (2/515), sementara Al Maqrizi mencatatnya dalam As Suluk (1/15). Imam Al Jahizh bakahkan mencatat dalam Risalah-nya (3/42) bahwa kelompok terbesar dalam pejabat sekretariat Negara terdiri atas para zindiq ‘Ajam yang beberapa kali menyusun lembaran Negara untuk membangun keraguan tentang tartib dan penulisan Al Quran.

Salah satu keluarga paling menonjol dari mereka adalah keluarga Al Baramikah, yang beberapa kali sempat memegang posisi Wazir seperti Yahya ibn Khalid Al Barmaki, Ja’far ibn Yahya Al Barmaki dan anak-anaknya. Mereka terus merajalela sampai kelak Harun Ar Rasyid menumpasnya.

AL QADHI ABU YUSUF, SANG LENTERA

Di tengah kegelapan kerajaan ‘machstaat’ ‘Abbasiyah itu adakah orang yang tak mengutuk gelap, namun menyalakan lentera?

Alhamdulillah, namanya Abu Yusuf. Kelak dialah yang akan mengubah kerajaan itu menjadi ‘rechstaat’. Para pengritik rawi yakni Yahya ibn Ma’in, Ahmad ibn Hanbal, dan ‘Ali ibn Al Madini menilainya sebagai ‘amat tepercaya’. Ini diebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam AlIntiqa’ (172) dan Ibnu Khallikan dalam Wafayaat (5/422).

Dia adalah murid utama Abu Hanifah. “Dia”, kata Abu Hanifah, “Adalah salah satu muridku yang paling banyak menghafal dan memahami ilmu.” Kata-kata ini diabadikan Al Kurduri dalam Al Manaqib (2/126). “Sekiranya murid Abu Hanifah hanyalah Abu Yusuf seorang, cukuplah itu menjadi kebanggaannya atas seluruh manusia.” Al Makki mencatat kekata Imam Dawud ibn Rasyid ini dalam karyanya Al Manaqib 2/232.

-Madrasah Abu Hanifah

Semua dimulai ketika Abu Hanifah melihat dia harus bertindak untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam kondisi itu. Untuk kita ketahui, Abu Hanifah termasuk ‘ulama yang menganggap tidak sahnya kepemimpinan zhalim. Dia pernah menyokong pemberontakan Zaid ibn ‘Ali ibn Husain dan An Nafsuz Zakiyah, sebagaimana sikap beberapa ‘ulama lain di masa itu.

Namun beliau sadar, ada yang lebih penting dari kekuasaan politik. Yaitu menyiapkan perangkat lunak berupa sistem hukum dan sumberdaya manusia yang kelak akan digunakan untuk mengatur urusan kaum muslimin. Kelak jika saatnya tiba, dalam kepemimpinan imam yang adil. Maka berdirilah madrasah Abu Hanifah yang di saat wafat beliau telah mengkodifikasikan 83.000 persoalan fiqih yang disusun menurut judul dan subjudul tertentu menjadi Al Fiqhul Akbar. Al Makki menjelaskan hiruk-pikuk madrasah ini dalam Al Manaqib (1/96; 2/132-136).

Ijtihad awal madrasah ini adalah terus istiqamah mencetak kader-kader yang mumpuni dalam fiqih, hukum, dan ketatanegaraan sambil tetap mempertahankan independensi dan menjauh dari kekuasaan. Di bidang ekonomi, Abu Hanifah menekankan gerakannya untuk mandiri, dan dia sendiri memiliki jaringan toko sutera dan wol yang beroperasi dari Mesir hingga Hijjaz. Pabrik sutranya di Kufah begitu besar. Al Yafi’i mencatat ini dalam Miratul Jinan (1/310). Bahkan, begitu kokohnya institusi ekonomi madrasah ini sehingga ketika Abu Hanifah wafat, brankasnya menyimpan amanat modal sebanyak 50 juta dirham sebagaimana dicatat Al Makki dalam Al Manaqib (1/220).

Gerakan ini terus menyusun manhaj, menelaah, mematangkan diri, dan menyiapkan kader-kadernya dengan kemampuan dan kemandirian di berbagai bidang. Hingga satu saat, ketika Abu Hanifah telah wafat dan madrasah dipimpin Abu Yusuf, murid cemerlang ini melihat sebuah celah sejarah untuk menampilkan gerakannya dan mulai mengubah kondisi ummat dengan masuk ke dalam kekuasaan. Celah harapan itu ada pada perubahan politik yang terjadi kemudian, dan terutama pada sosok penguasa kelima kerajaan ‘Abbasiyah; Harun Ar Rasyid.

-Kontrak Politik dengan Harun Ar Rasyid

Salah satu perubahan politik terpenting yang dilakukan Ar Rasyid adalah digusur dan dibinasakannya keluarga Al Baramikah yang pernah kita sebut di awal. Jelas hal ini membuat para ‘ulama, orang-orang shalih, dan masyarakat umum merasa lega dan terbit harapan besar di hati mereka. Sebaliknya, para zindiq sedikit demi sedikit mulai menahan kelancangan terhadap syari’at yang selama ini mereka pertontonkan dengan bangga ketika menggenggam pemerintahan.

Hal lain yang makin menguatkan Abu Yusuf untuk berijtihad masuk ke dalam kekuasaan adalah pribadi Ar Rasyid. Ia tumbuh dalam bimbingan seorang ‘ulama, Mubarak ibn Fadhalah. Imam As Suyuthi dalam At Tarikh (249-250) menggambarkan karakter Ar Rasyid; “Dia mencintai ilmu dan mengagungkan syiar Islam. Shalatnya sunnahnya 100 raka’at sehari, tak ditinggalkan kecuali saat sakit. Shadaqah hariannya 1000 dirham dari penghasilan pribadi. Dia senantiasa menangis saat bermuhasabah. Suka meminta nasehat ‘ulama dan tertunduk tersedu jika dinasehati. Sangat menyukai pujian dan membalasnya dengan harta berlimpah. Dan suka bersyair.”

Abul Faraj Al Ishfahani dalam Al Aghani (3/178) menyifatinya; “Ar Rasyid adalah orang yang paling banyak menangis jika mendengar nasehat, namun juga yang paling bengis ketika memuncak amarahnya. Tentara yang berwatak keras, raja yang bermewah-mewah, sekaligus hamba Allah yang teguh dan takut padaNya.”

Maka ijtihad Abu Yusuf berbeda dari gurunya disebabkan perbadaan kondisi. Dia menerima dan menduduki jabatan Qadhi Al Qudhat, hakim agung di masa Harun Ar Rasyid dengan mengajukan tiga syarat; adanya kemerdekaan penuh kekuasaan kehakiman yang tidak bisa diintervensi eksekutif; adanya wewenang penuh bagi dirinya sebagai hakim agung untuk mengangkat dan memberhentikan hakim di seluruh wilayah; dan, kewenangan bagi dirinya untuk menyusun sebuah tata-perundangan baru yang akan menjadi pijakan pelaksanaan syari’at Allah dalam kerajaan ‘Abbasiyah.

Ketiga syarat dari jabatan yang belum pernah ada sebelumnya ini diterima oleh Harun Ar Rasyid. Al Makki menuliskannya dalam Al Manaqib (2/311), juga Ibnu Khallikan dalam Wafayaat (5/421).

Syarat yang pertama (pemisahan kekuasaan Eksekutif-Yudikatif); didasarkan pada pandangannya atas berbagai riwayat yang sampai kepadanya tentang praksis di masa Khulafaur Rasyidin. Misalnya bahwa ‘Umar sebagi Qadhi di masa Abu Bakr pernah membatalkan pemberian ta’lif berdasar keputusan Khalifah kepada Al Aqra’ ibn Habis dan ‘Uyainah ibn Hishn. Juga ‘Ali ibn Abi Thalib pun pernah diadili dan kalah dari seorang Nasrani di hadapan Qadhi Syuraih. Ini bisa kita lihat dalam karya Ibnu ‘Asakir, Tarikh Dimasyq (12/377).

Syarat yang kedua membuat Abu Yusuf bisa membawa serta 50 murid terbaik Abu Hanifah yang lain untuk mengisi jabatan kehakiman di berbagai wilayah. Dan syarat ketiga membuatnya bekerja keras menyusun Kitab Al Kharaaj. AlhamduliLlaah.

-Al Kharaaj, Dasar Hukum Kerajaan ‘Abbasiyah

Kitab yang disusun Abu Yusuf ini meliputi beberapa pembahasan yang sungguh luas dan bermanfaat. Abul A’la Al Maududi dalam Al Khilafah wal Mulk (329-339) menggarisbesarkannya dalam beberapa poin. Izinkan saya hanya meringkasnya saja;

1. Konsep Pemerintahan. Di sini beliau menekankan tanggungjawab penguasa kepada Allah dengan berbagai dalil dan riwayat serta contoh-contoh dari para Khulafaaur Rasyidin.

2. Jiwa Demokrasi. Bahwa seorang penguasa tak hanya bertanggungjawab kepada Allah, melainkan juga kepada segenap orang yang dipimpinnya. Beliau menyampaikan pentingnya kritik dari ummat kepada seorang penguasa dan bahwa kaum muslimin berhak menuntut dan meminta tanggungjawab atas hak mereka yang ditetapkan oleh syari’at.

3. Kewajiban-kewajiban Penguasa. Beliau menjelaskannya dengan detail dan terperinci, sedangkan sebelumnya tidak ada job description semacam ini.

4. Kewajiban-kewajiban Warga Muslim.

5. Baitul Maal. Beliau menegaskan bahwa Baitul Maal bukanlah milik penguasa; dia adalah amanah dari Allah sekaligus amanah dari masyarakat. Beliau menegaskan larangan penggunaan harta Baitul Maal untuk kepentingan pribadi. Padahal selama ini hal itu dilakukan oleh penguasa ‘Umayyah maupun ‘Abbasiyah.

6. Prinsip-prinsip Penetapan Pajak dan Distribusi Kemakmuran.

7. Hak-hak Ahlu Dzimmah.

8. Penjelasan Lebih Mendetail tentang Tanah dan Pajak.

9. Penghapusan Kezhaliman.

10. Independensi Peradilan.

11. Perlindungan Kebebasan Pribadi dan Peninjauan Kembali Berbagai Kasus Lampau.

12. Perbaikan Kondisi Berbagai Penjara dan Penegasan Hak-hak Bagi Tertuduh dan Terpidana.

KESIMPULAN

Setelah belajar dari Raja’ ibn Haiwah untuk menghadirkan kepemimpinan yang adil di tengah kondisi yang sulit dan sistem kerajaan yang rusak, kita belajar pada Abu Yusuf untuk menghadirkan perubahan ketika kondisi memungkinkan. Alhamdulillah.

Perubahan yang dibawa Abu Yusuf mungkin belum sempurna. Ya, karena sistem kerajaan masih tetap dengan kekuasaan yang turun-temurun dan diperebutkan internal wangsa ‘Abbasiyah. Tapi kita lagi-lagi belajar, bahkan dalam sistem yang tak kita sukai, entah itu monarki ataupun demokrasi, tetap ada kebaikan yang bisa dihadirkan.

Di masa Orde Baru, para muassis da’wah ini mungkin berijtihad sama dengan Abu Hanifah; menjauhkan diri dari kekuasaan dan membangun tanzhim da’wahnya. Tapi kini, reformasi telah mengubah banyak hal dalam kehidupan politik kita sebagaimana perubahan politik dan wajah kekuasaan yang dihadirkan Harun Al Rasyid. Perubahan itu telah menggerakkan Abu Yusuf untuk berijtihad –seolah- menyelisihi gurunya, namun sebenarnya tidak. Dia hanya menimbang hal paling bermanfaat yang bisa dilakukan. Dan dia telah membawa kader-kader Abu Hanifah untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan mengubah kerajaan ‘machstaat’ ‘Abbasiyah, menjadi lebih berdasar hukum, dan lebih dekat pada syari’at Allah.

Membandingkan mungkin tidak. Tapi izinkan saya menatap ta’zhim KH Hilmi Aminuddin yang ayahandanya dipenjara dan dizhalimi Orde Lama dan Baru, tapi kini mentaujihkan, “Berdamailah dengan sejarah. Bersiaplah tampil untuk Mihwar Daulah. Karena ummat menanti bukti apakah ketika urusan diserahkan pada syari’at dan orang shalih kehidupan mereka akan menjadi lebih baik.”

Dan, izinkan saya menatap ta’zhim kader-kader da’wah kini yang telah bergerak dan menguasai keahlian dalam berbagai bidang kehidupan; politik, ekonomi, hukum, kedokteran, sosial, budaya, sains, kerekayasaan, dan teknologi. Ya, mari bersama Abu Yusuf menyalakan lentera, terlibatlah segera dalam pelbagai pengelolaan urusan ummat ini. Setidaknya untuk belajar, hingga ketika kelak Khilafah yang kita rindukan benar-benar wujud, ia tak kebingungan mengatur urusan ummat hanya karena tiada sumberdaya. Tragedi awal berkuasanya ‘Abbasiyah, tak boleh terulang lagi.

Dan tentu itu, salah satu bentuk jihad yang utama. Di masa ‘Umar ibn Al Khaththab, salah seorang asisten Gubernur Yaman mengajukan izin untuk berangkat berjihad. Kepadanya ‘Umar menulis keputusan, “Kembalilah engkau pada tugasmu! Sebab bekerja dengan benar dalam pelayanan ummat adalah jihad yang bagus!” Keputusan ‘Umar ini dicatat oleh Abu ‘Ubaid dalam Kitab Al Amwal (590), juga Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (4:68), dan Abu Yusuf dalam Al Kharaaj (180).

Tiada yang saya kehendaki selain menghadirkan kebaikan. Tentu ada yang tak setuju dengan rasam ini, dan ianya memang jauh dari sempurna. Maka nasehat dan masukan yang disampaikan dengan adab Islam selalu saya nantikan. Jika hujjah telah bertemu hujjah, maka tak ada yang lebih layak dari kesalingfahaman dan terjaganya persaudaraan. Semoga Allah menjadikan kita semua mencintai kebenaran, bergerak bersamanya, untuk menebarkan ‘amal shalih dan manfaat bagi ummat. Saya percaya, dengan itu, kegemilangan yang dinubuatkan itu makin dekat.;)

salim a. fillah –www.fillah.co.cc-
Selengkapnya...

Menyalakan Lilin Bersama Raja’ ibn Haiwah


“Assalamu’alaikum, wahai Raja!”
-Sa’d ibn Abi Waqqash, ketika membai’at Mu’awiyah ibn Abi Sufyan-

Al Imam Ibnul Atsir dalam Al Kamil fit Tarikh 3/405 merekam adegan pembai’atan Mu’awiyah oleh Sa’ad ibn Abi Waqqash ini. Awalnya Mu’awiyah marah. “Apa salahnya Anda memanggilku Amirul Mukminin?”, katanya. “Demi Allah”, kata Sa’d, “Aku tidak suka memperoleh apa yang kau dapat dengan cara yang kau gunakan!”

Ya, wajar bagi Sa’d mengatakan demikian. Beberapa hari sebelumnya, sang keponakan, Hasyim ibn ‘Utbah ibn Abi Waqqash menghadapnya disertai perwakilan berbagai kabilah. “Demi Allah wahai Paman”, kata Hasyim, “Ada seratus ribu pedang terhunus yang berpendapat bahwa engkaulah yang paling berhak memegang kepemimpinan kaum muslimin!” Sang keponakan mungkin benar. Dari kesepuluh sahabat Rasulullah yang beliau jamin ke surga, tinggal Sa’d ibn Abi Waqqash yang kini masih hidup.

Ketika itu, Sa’d menunduk dan menitikkan air mata. “Demi Allah Ananda”, jawabnya sambil menatap lekat mereka yang hadir dengan mata berkaca-kaca, “Aku hanya menginginkan satu saja dari seratus ribu pedang itu; yang jika kupukulkan pada seorang mukmin pedang itu takkan berdaya; tapi jika kupukulkan pada musuh Allah maka ia akan membelah dengan ketajamannya.” Kata-kata Sa’d, paman kebanggaan Sang Nabi ini, diabadikan oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah 8/72.

Mungkin sejak itulah, Mu’awiyah menyadari bahwa dia memang seorang raja, dan Daulah ‘Umayyah yang didirikannya adalah sebuah kerajaan. Bukan Khilafah. Apalagi setelah sampai kepadanya riwayat tentang nubuwat Rasulullah yang berbunyi, “Khilafah sepeninggalku tigapuluh tahun lamanya. Setelah itu akan datang masa kerajaan.” Maka satu saat diapun berkata, “Aku adalah raja pertama!” Kalimat ini beserta penjelasannya bisa kita rujuk dalam karya Ibn ‘Abdil Barr, Al Isti’aab 1/254, dan karya Ibnu Katsir, Al Bidayah wan Nihayah 8/135.

DARI KHILAFAH KE MULK

Maka berakhir sudah masa Khilafah dan datanglah masa kerajaan; Daulah Bani ‘Umayyah. Sistem Mulk atau Monarki, yang telah ribuan tahun mengisi kehidupan manusia –jauh mendahului demokrasi awal yang konon lahir di Athena- dengan berbagai kebaikan dan keburukannya kini menaungi sekaligus mengangkangi kaum muslimin. Sistem ini, yang direpresentasikan dua kekuatan dunia di masa Sang Nabi; Romawi dan Persia, kini memerancah negeri Islam. Segala tata kehidupan yang indah dan meriah di bawah Khilafah berubah drastis sejak berdirinya Daulah ‘Umayyah ini.

Abul A’la Al Maududi dalam Al Khilafah wal Mulk mendata berbagai perubahan itu menjadi pokok-pokok pembahasan yang diuraikan begitu luas dengan berbagai riwayat dan analisis. Beberapa yang bisa kita lihat di sana adalah; perubahan aturan pengangkatan, perubahan cara hidup, perubahan anggaran dan Baitul Maal, hilangnya kebebasan berpendapat, hilangnya kemerdekaan peradilan, berakhirnya pemerintahan berdasar Syuraa, munculnya fanatik kesukuan, dan hilangnya kekuasaan hukum. Penjelasan gamblang oleh beliau bisa kita seksamai dalam Al Khilafah wal Mulk 183-204.

Dari sederet perubahan yang menimbulkan banyak masalah itu, fenomena kebobrokan paling mencolok adalah soal merembakanya kezhaliman. Untuk sekedar mengambil misal, di masa kekuasaan Mu’awiyah terjadilah hal ini: Muhammad ibn Abi Bakr, saudara ‘Aisyah, ipar Sang Nabi, dibunuh dan jasadnya dimasukkan ke dalam bangkai keledai lalu dibakar. Peristiwa menyesakkan ini termaktub dalam karya Ibn ‘Abdil Barr, Al Isti’aab 1/235; At Thabari, Tarikhul Umam wal Muluk 4/79; Ibn Al Atsir, Al Kamil 3/180; dan Ibn Khaldun, At Tarikh 2/182.

Demikian hal yang tak kalah kejam terjadi pada sahabat kesayangan Nabi, ‘Ammar ibn Yassir, ‘Amr ibn Hamk, dan lainnya sebagaimana diabadikan para ‘Alim sejarawan semisal: Ahmad, Al Musnad 6538, 6929; Ibn Sa’d, Ath Thabaqat 3/253, 6/25; Ibn Katsir, Al Bidayah 8/48; dan Ibn Hajar Al ‘Asqalani, Tahdzibut Tahdzib 8/24. Juga tentang dikubur hidup-hidupnya seorang ‘alim lagi shalih bernama Hujur ibn ‘Adi yang membuat ‘Aisyah, Hasan Al Bashri, dan para sahabat mulia memprote keras Mu’awiyah; Ini bisa kita lihat dalam anggitan Ath Thabari, At Tarikh 4/190-207; Ibn ‘Abdil Barr, Al Isti’aab I/135; Ibn Al Atsir, Al Kamil 3/234-242; Ibn Katsir, Al Bidayah 8/50-55; dan Ibn Khaldun, At Tarikh 3/14.

Di masa Yazid ibn Mu’awiyah, yang ditunjuk oleh ayahnya menjadi penguasa dan menjadi bukti teguh berakhirnya Khilafah dan mulainya Mulk, kita tahu sejarah kekuasaan semakin tak enak dibaca. Katakanlah kita abai atas perdebatan apakah tindakan cucu tercinta Rasulullah Husain ibn ‘Ali itu sah ataukah tidak; apa yang terjadi kemudian sungguh adalah tragedi. Detail pembantaian keluarga mulia dan bagaimana perlakuan kejam itu tidak saya sampaikan di sini; cukup mohon periksa jika ada luang ke halaman-halaman ini; Ath Thabari, At Tarikh 4/309; Ibnu Atsir, Al Kamil 3/282-299; Ibn Katsir, Al Bidayah 8/170-204.

Kalaupun kita menerima riwayat bahwa Yazid tak punya niat membunuh Al Husain dan menyesali kejadian itu, kita masih bertanya; mengapa dia tak bertindak sedikitpun terhadap para pelakunya? Dan, kejadian paling memilukan di masa Yazid terjadi di tahun 73 H; penyerbuan Madinah, kota yang dijamin Sang Nabi dengan sabdanya dalam riwayat Al Bukhari, Muslim, Ahmad, dan An Nasa’i, “Tak seorangpun memperlakukan Madinah dengan kejahatan melainkan Allah pasti akan lumerkan di dalam neraka seperti lumernya timah hitam.”

Berdasar riwayat Az Zuhri; atas tuduhan pemberontakan yang dipimpin walinya, ‘Abdullah ibn Hanzhalah, kota Madinah ditaklukkan dan para pasukan diizinkan melakukan apapun sesukanya selama tiga hari hingga tiap sudutnya dirampok habis-habisan. Tujuh ribu orang asyraf dari kalangan keluarga Nabi, sahabat dan putra-putranya terbunuh. Ibnu Katsir bahkanmenulis bahwa seribu wanita hamil tanpa pernikahan dari kejadian di hari-hari itu. Rincian kejadian ini bisa kita periksa dalam; Ath Thabari, At Tarikh 4/372-379; Ibn Al Atsir, Al Kamil 3/310-313; dan Ibn Katsir, Al Bidayah 8/219-221, dan 372.

KONSPIRASI KESHALIHAN DI TENGAH KERUSAKAN

Dengan maksud tak memperpanjang daftar hal-hal yang menggidikkan ini, mari melompat ke saat-saat menjelang tampilnya ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz. Ya, di sana masih ada Al Hajjaj ibn Yusuf Ats Tsaqafi, seorang ‘alim yang punya andil merumuskan sistem harakat untuk mushhaf yang kita baca. Tapi bukankah dia seperti kata ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz sendiri, “Andai ummat-ummat dan bangsa datang dengan segala kejahatan mereka; dan kita Bani ‘Umayyah datang dengan Al Hajjaj seorang, demi Allah takkan ada yang bisa mengalahkan kita.”

Para penulis riwayat menghitung, Al Hajjaj bertanggungjawab atas pembunuhan sekitar 120.000 orang yang kebanyakan adalah ‘ulama dan orang-orang shalih. Belum lagi ketika dia meninggal, masih ada sekitar 80.000 jasad yang ditemukan di penjaranya, mati tanpa peradilan yang hak. Rincian ini bisa kita teliti dalam redaksi Ibn ‘Abdil Barr, Al Isti’aab 1/353 dan 2/571; Ibn Al Atsir, Al Kamil 4/29 dan 133; Ibn Katsir, Al Bidayah 9/2, 83, 91, 128, 129, dan 131-138; serta Ibn Khaldun, At Tarikh 3/39.

Di antara mereka yang dibunuh Al Hajjaj, terdapat sahabat-sahabat utama Rasulullah seperti ‘Abdullah ibn Az Zubair ibn Al ‘Awwam, putra Asma’ binti Abi Bakr Ash Shiddiq, An Nu’man ibn Basyir, ‘Abdullah ibn Shafwan, dan ‘Imarah ibn Hazm. Kepala mulia ‘Abdullah yang pernah diciumi Rasulullah itu dipenggal dan dikelilingkan ke berbagai kota; Makkah, Madinah, hingga Damaskus. Jasad-jasad mereka disalibkan di kota Makkah, dijadikan tontonan hingga berbulan lamanya. Keterangan ini bisa kita telusur dalam tulisan Ibn ‘Abdil Barr, Al Isti’aab 1/353-354; Ath Thabari, At Tarikh 5/33-34; Ibn Katsir, Al Bidayah 8/245 dan 332; Ibn Khaldun, At Tarikh 3/39; serta Ibn Sa’d, Ath Thabaqat 6/53.

Selain itu, patut dicatat nama Sa’id ibn Jubair, tabi’in agung, murid kesayangan ‘Abdullah ibn ‘Abbas yang dikuliti dan disayati dagingnya oleh Al Hajjaj. Juga tindakan dan cercaannya yang mengancami ‘Abdullah ibn ‘Umar, ‘Abdullah ibn Mas’ud, Anas ibn Malik, dan Sahl ibn Sa’d As Sa’idi, Radhiyallaahu ‘Anhum. Di masa ini pula para penguasa melaksanakan khuthbah pertama Jum’at sambil duduk, menjadikan caci-maki terhadap ‘Ali ibn Abi Thalib dan keluarganya sebagai rukun khuthbah, dan melangsungkan khuthbah hari raya sebelum shalatnya. Bid’ah-bid’ah yang dahsyat ini bisa kita telusuri dalam anggitan Ibn Al Atsir, Al Kamil 4/119, 300; Ath Thabari, At Tarikh 6/26; dan Ibn Katsir, Al Bidayah 8/258, 10/30-31.

Adakah kerusakan ummat sebesar ini kita temui hari-hari ini?

Itu baru sebagian dari apa yang dilakukan Al Hajjaj. Padahal ada banyak penguasa lain yang menebar kezhaliman pada masa itu. Satu saat, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziiz mengeluh dalam doanya, “Al Hajjaj di ‘Iraq, Al Walid ibn ‘Abdul Malik di Syam, Qurrah ibn Syirk di Mesir, ‘Utsman ibn Hayyan di Madinah, Khalid ibn ‘Abdullah Al Qashri di Makkah! Ya Allah, sepenuh bumi ini telah penuh dengan angkara murka.. Maka selamatkanlah ummat ini!” Doa dan kesaksian ini direkam oleh Ibn Al Atsir dalam Al Kamil fit Tarikh 4/132.

Alhamdulillah. Segala puji bagiNya. Allah menjawab doa ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz itu dengan dirinya. Menakdirkan untuknya 2 tahun masa kekuasaan yang akan menjadi buah bibir sepanjang sejarah. Dua tahun yang menyelamatkan muka Bani ‘Umayyah di hadapan ummat Rasulullah. Dua tahun yang lahir dari ikhtiyar seorang ‘alim yang tak berputus asa terhadap rahmat Allah di tengah sistem monarki yang bobrok. Dari fakta yang kita baca di atas, hampir-hampir saya berkesimpulan; keadaan ummat saat itu di bawah sistem Mulk, jauh lebih menyedihkan dibanding kita di Indonesia kini di bawah demokrasi.

‘Alim agung yang ingin saya sebut itu adalah Raja’ ibn Haiwah. Betapa gigih upayanya memasukkan nama ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz sebagai pengganti Sulaiman ibn ‘Abdul Malik, konspirasinya agar Bani ‘Umayyah mau menerima, dan siasatnya agar ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz bersedia bisa kita simak dalam karya Imam ‘Abdullah ibn ‘Abdil Hakam, Al Khalifatul ‘Adil ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, Khamisu Khulafaair Raasyidiin, 43-47; Ibn Al Jauzi, Sirah ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz; Khalid Muhammad Khalid, Khulafaaur Rasuul, 673-681.

Maafkan, tentang keadilan yang kemudian tergelar, tentang kemakmuran hingga tak seorangpun bersedia menerima zakat, tentang kesejukan yang kemudian dirasakan setiap jiwa, tentang ketenteraman hingga serigalapun enggan memangsa domba, tentang kezhaliman dan bid’ah-bid’ah yang terhapus.. Maafkan, saya tak ingin mengisahkannya lagi. Kita telah tahu dengan setumpuk rindu. Dan semua itu, Allah kehendaki terjadi atas ikhtiyar seorang Raja’ ibn Haiwah; ‘alim yang tahu bagaimana harus bertindak dalam sistem yang rusak dan keadaan yang bobrok.

KESIMPULAN

Kita kemudian sepakat, baik Mulk maupun demokrasi jauh dari ideal yang kita citakan. Keduanya jauh dari Khilafah yang kita rindukan. Tetapi dari ‘alim agung yang bernama Raja’ ibn Haiwah, kita belajar agar tak pernah kehilangan harapan untuk menghadirkan kebenaran, keadilan, dan kemashlahatan dalam sistem dan keadaan yang bagaimanapun rusaknya. Demi Allah, seburuk-buruk pencuri adalah pencuri harapan. Oleh karena itulah Rasulullah menyebutkan dalam redaksi Al Bukhari dan Muslim, “Siapa yang mengatakan manusia telah hancur, maka dialah orang yang paling hancur.”

Kita belajar dari Raja’ untuk mengamalkan kaidah ushul; “Maa laa tudraku kulluhu, fa laa tutraku kulluh. Apa-apa yang tidak bisa kita raih sepenuhnya, jangan kita tinggalkan sepenuhnya.” Dan Raja’ tidak mengutuk sistem Mulk itu sebagai kekufuran warisan Romawi dan Persia betapapun itu fakta dan betapapun seperti apa kerusakan ummat yang ada di sana. Dia tidak meninggalkannya. Dia terus berikhtiyar di dalamnya. Dia mendekati sang raja, Sulaiman ibn ‘Abdul Malik dan mencari peluang menghadirkan kebajikan dalam tiap kebijakan yang akan ditetapkan.

Dan akhirnya, dengan sebuah konspirasi unik, dia hadirkan ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz untuk ummat di tengah sebuah sistem yang rusak dan keadaan yang bobrok. Raja’ dan bahkan ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz sendiri memang tak kuasa mengubah sistem itu. Ya, mereka tak mampu. Setelah ‘Umar wafat, kembalilah kekuasaan diwariskan turun-temurun, Baitul Maa kembali melayani penguasa, foya-foya istana berjaya, dan kezhaliman merebak di mana-mana. Raja’ dan ‘Umar tidak mampu mengubah sistem itu, tapi mereka telah berbuat apa yang mereka mampu. Dan hingga kini ummat mengenang mereka penuh cinta.

Untuk rekan-rekan yang sepakat, mari nyalakan lilin bersama Raja’ ibn Haiwah. Mari lakukan sesuatu. Bukan hanya mengutuk gelap dan sistem yang tak sreg di hati ini. Mari nyalakan lilin bersama Raja’. Siapa tahu Allah karuniakan kepada kita kesempatan untuk menghadirkan ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz di tengah demokrasi dan kondisi bangsa yang sama-sama tak kita suka ini, sebagaimana dulu Allah karuniakan peluang pada Raja’ dan kawan-kawannya di tengah Mulk yang rusak.

Dengan penuh doa, dengan penuh harap padaNya, saya akan gunakan hak pilih saya Rabu besok. Memilih pemimpin untuk negeri ini. Oh iya. Mungkin memang belum ada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz di antara kandidat. Tapi setidaknya saya ingin berbuat. Karena saya yakin kemashlahatan masih bisa dihadirkan. Meski dalam keadaan bagaimanapun. Meski sekecil apapun..

Insyaallah, harapan itu masih ada;)

salim a. fillah-www.fillah.co.cc
Selengkapnya...

 

© Free blogger template 3 columns